Ibu paruh baya itupun mendengarkan dengan khusyu dan penuh perhatian wejangan dari seorang ustadz tentang masalah ibadah haji dalam acara Walimatus Safar (hajatan untuk pamitan kepada keluarga, saudara dan tetangga sebelum berangkat menunaikan Haji ke tanah suci) tetangganya yang hendak ke tanah suci. Sang ustadz muda jebolan LIPIA Jakarta itupun seperti menghipnotis hadirin, membawanya terbang jauh menembus cakrawala dan singgah di tanah suci. Tidak sedikit warga yang hadir menitikkan air mata tanda kerinduan yang mendalam akan perjumpaannya dengan Allah di rumahNYA, di baitullah yang suci. Tidak terkecuali sang Ibu paruh baya yang sejak awal penuh khusyu menyimak setiap untaian hikmah dari sang ustadz yang juga sekaligus menjadi pembimbing haji bagi tetangganya tersebut.
Walimatussafarpun usai sudah, dan hadirin mulai beranjak pulang ke rumahnya masing-masing setelah sebelumnya saling memberikan peluk dan untaian doa kepada tuan rumah calon jamaah haji tersebut. Tapi tidak dengan ibu paruh baya tersebut. Wajahnya terus memandangi tuan rumah calon haji tersebut dengan tatapan kosong seperti memendam harapan akan sesuatu. Sang ibu itu terus duduk di depan rumah sampai semua hadirin meninggalkan arena walimatussafar. Saat itulah sang ibu paruh baya ini mendatangi sang Ustadz yang sudah hendak meninggalkan tempat walimatussafar.
“Assalamu’alaikum Ustadz “, sapa sang ibu kepada Ustadz.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Bu Imah ya, koq masih disini. Ada apa ya Bu ?” sang Ustadz menyambut salam Bu Imah (panggilan sang ibu paruh baya, bukan nama sebenarnya).
Dengan mata agak berkaca-kaca, Bu Imah mengutarakan maksudnya pada sang ustadz dengan terbata-bata.
“Anu Ustadz, saya mohon didoakan nanti sesampainya Ustadz di Ka’bah, supaya saya dan suami bisa segera nyusul ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Kan kata Ustadz tadi berdoa di muka Ka’bah atau multazam itu pasti dikabulkan sama Gusti Allah”.
“Ohhh gitu, kirain ada apaan gitu Bu Imah. Insya Allah, insya Allah pasti akan saya doakan di depan multazam. Semoga Bu Imah dan bapak bisa segera berangkat haji ke tanah suci. Insya Allah Bu Imah. Lah ini bapak gak ikutan kesini ya ?” sang Ustadz mengiyakan permintaan doa dari Bu Imah.
Mendengar jawaban Ustadz, Bu Imah menitikkan air mata tanda senang dan bahagia. Sambil mengusap air mata yang mulai menetes, Bu Imah menjawab bahwa suaminya tidak bisa ikut hadir karena harus ke sawah untuk mengurusi lahan pertanian yang baru mulai masa tanam. Suaminya hanyalah buruh tani yang mengerjakan lahan milik orang lain, sehingga tidak berani meninggalkan pekerjaannya untuk hadir di walimatussafar tetangganya.
Mendengar itu Ustadzpun melanjutkan, ” Tapi begini Bu Imah, maaf ya sebelumnya. Kalau soal doa, insya Allah akan saya doakan dan insya Allah akan terkabul. Tapi masalahnya, berangkat haji itu kan butuh biaya. Untuk bisa berangkat haji, Bu Imah harus punya nomor porsi antrian haji dulu dari Depag. Dan untuk mendapatkan nomor porsi, Bu Imah harus membayar BPIH dulu ke bank. Nah, emangnya Bu Imah sudah bayar BPIHnya ?”
Seperti terlihat sedikit kaget dengan jawaban lugas sang Ustadz, Bu Imahpun menjawab, ” Justru itulah Ustadz, saya belum bayar BPIH. Dan saya belum punya duit untuk membayar BPIH. Kan bayar BPIH itu mahal ustadz, sementara tabungan saya tidak punya dan penghasilan suami sebagai buruh tani ditambah saya sebagai penjual sayuran di pasar Bawen cuma pas-pasan buat makan dan kebutuhan harian anak-anak. Mana bisa saya membayar BPIH. Makanya saya minta tolong Pak Ustadz untuk dibantu doa dari Mekkah nanti. Saya dan suami sudah kepingin banget menunaikan rukun Islam yang kelima itu Ustadz. Kami cuma bisa menangis menahan kerinduan ke tanah suci setiap menghadiri walimatussafar seperti ini Ustadz”. Bu Imah sesenggukan mengutarakan kerinduan mendalamnya akan tanah suci.
“Baik Bu Imah. Kalau begitu, Bu Imah turuti saja apa kata-kata saya ya. Sudah pokoknya turuti saja, tidak usah bertanya macam-macam. Gimana, sanggup tidak Bu Imah,” sang Ustadz mulai memberikan dorongan keyakinan pada Bu Imah, yang dibalas dengan anggukan tanda setuju dari Bu Imah.
“Karena Bu Imah belum punya tabungan untuk biaya haji, maka setelah pulang dari sini Bu Imah harus langsung menyiapkan tabungan untuk haji,” lanjut Ustadz memberikan arahan praktis yang dipotong oleh Bu Imah.
“Ustadz, bagaimana saya bisa nabung untuk haji, sementara penghasilan saya tidak seberapa. Cuma pas-pasan buat makan saja Ustadz”.
“Tuh kan …. Katanya mau nurut saja kata-kata saya, koq malah ngeyel gitu …,” sambung Ustadz sambil memberikan candaan. Dan Bu Imahpun menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan petuah Ustadz.
“Jadi begini Bu Imah. Sepulang nanti, Bu Imah langsung bikin celengan haji. Bu Imah beli saja celengan yang agak besar. Kemudian diberi tulisan pada celengan itu dengan tulisan CELENGAN UNTUK HAJI. Gimana, bisa kan Bu Imah beli celengan dan dikasih tulisan Celengan Untuk Haji ?” Dan Bu Imahpun membalas dengan anggukan tanda setuju.
“Nahhh, setiap Bu Imah pulang dari jualan sayur di pasar, masukkan berapapun yang bisa Ibu tabung untuk biaya haji ke celeng haji punya Ibu. berapapun yang Ibu bisa. 1000 rupiah boleh, 2000 jga boleh. 500 rupiah juga gak papa. Pokoknya berapa saja yang Ibu bisa tabung untuk haji. Gimana Bu Imah, sanggup tidak ?” Ustadz melanjutkan advisnya dan dijawab dengan kesanggupan penuh antusias oleh Bu Imah.
“Setiap kali Bu Imah memasukkan berapapun rupiah yang ditabung ke celengan haji tersebut, pastikan Ibu memasukkannya dengan sekalian berdoa kepada Allah, bahwa inilah tabungan bekal Ibu untuk memenuhi panggilan Allah ke tanah suci, dan mintalah kepada Allah untuk mencukupkannya. Panjatkan doa dengan keikhlasan dan penuh harap. Bagaimana Bu Imah, Ibu bisa melakukan itu ?” dan untuk kesekian kalinya, Bu Imah mengangguk mengiyakan petuah sang Ustadz.
“Bu Imah tidak usah bertanya, kalau sehari cuma seribu dua ribu lantas kapan bisa berangkat ke tanah sucinya? Ibu tidak usah bertanya-tanya seperti itu. Pokoknya Ibu menabung saja terus, berdoa terus meminta sama Gusti Allah. Dan jangan lupa, setiap habis sholat juga memohon doa untuk disegerakan berangkat ke tanah suci. Juga sholat malam ya Bu. Ibu dan Bapak minta langsung ke Gusti Allah. Gitu saja ya Bu, insya Allah akan Allah kabulkan,” sang Ustadz muda itu mengakhiri petuahnya kepada Bu Imah dan mereka berduapun akhirnya berpamitan pada tuan rumah walimatussafar.
………………………………….
Pada suatu sore yang cerah menjelang maghrib, pintu rumah mungil sang Ustadz muda itupun diketuk. Sepertinya ada seorang tamu yang hendak bersilaturrahim dengan sang Ustadz. Dengan penuh semangat sang Ustadz itupun membukkan pintu untuk tamunya.
“Assalamu’alaikum Pak Ustadz,” sapa sang tamu.
“Wa’alaikum salam. Eeeeeee, Bu Imah ya sama Bapak. Ayo silakan masuk, mari,” sang Ustadz mempersilakan tamunya yang ternyata adalah Bu Imah dan suami.
Setelah duduk semuanya, sang Ustadzpun memecah keheningan suasana.
“Tumben nih Bu Imah dan Bapak main kesini. Sudah lama banget gak ketemu. Kapan ya Bu terakhir kali saya ketemu Bu Imah?”
“Ya nih Ustadz, sudah lama banget. Kalau tidak salah sih saya ketemu Pak Ustadz terakhir kali ya sekitar setahun lalu, di acara walimatussafarnya Bu Rohmat,” jawab Bu Imah.
“Ohhh yaa, betul betul. Dan waktu itu Bu Imah minta ke saya supaya didoakan di tanah suci supaya bisa cepat ke tanah suci menunaikan haji. Alhamdulillah sudah saya tunaikan loh Bu amanah Bu Imah itu,” lanjut sang Uastadz.
“Terus gimana dengan celengan hajinya Bu Imah? Jalan terus kan sampai sekarang ?” lanjut sang Ustadz menanyakan soal celengan haji Bu Imah.
Bu Imahpun menjawab dengan mata berkaca-kaca seperti menahan guncangan perasaannya.
“Alhamdulillah semua saran Ustadz tentang celengan haji sudah saya tunaikan. Setiap hari sepulang dari pasar, saya ikuti persis apa yang disarankan Pak Ustadz. Saya masukkan sisa uang recehan yang ada ke celengan. Sembari itu saya berdoa memohon supaya Allah percepat keberangkatan saya ke tanah suci. Tidak jarang saya memohonnya sambil menangis Ustadz,” Bu Imah mulai mengurai perasaannya.
“Alhamdulillah, bagus itu. Semoga Allah kabulkan doa dan keinginan Ibu dan bapak. Teruskan saja ya Bu tabungan itu, jangan pernah berhenti sampai Allah kabulkan doa Ibu dan Bapak,” lanjut sang Ustadz penuh semangat.
“Justru itulah Pak Ustadz. Saya dan suami kesini datang ke rumah Pak Ustadz mau mohon ijin dan doanya,” Bu Imah melanjutkan, yang segera dipotong pembicaraannya oleh sang Ustadz.
“Minta didoakan apa lagi Bu Imah, kan sudah saya doakan waktu di tanah suci …,”sergah sang Ustadz.
“Bukan, bukan begitu Pak Ustadz. Jadi begini. Saya dan suami insya Allah tahun depan akan berangkat haji ke tanah suci. Kemarin kami baru saja membayarkan BPIH dan mendaftar haji untuk tahun depan. Dan mohon Ustadz bisa menjadi KBIH pembimbing ibadah haji saya dan suami,” Bu Imah segera menjelaskan maksudnya sambil menitikkan air mata.
“Subhaanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallaah wallahu akbar,”sang Ustadz menggemakan takbir pujia-pujian kepada Allah sambil mengulurkan jabat tangaan kepada suami Bu Imah. Dan pelukan bahagia itupun sang Ustadz ulurkan untuk sang suami Bu imah.
“Bagaimana ini ceritanya Bu Imah. Bukankah baru setahun ini Bu Imah menabnung untuk haji. Apa tabungannya sudah cukup untuk bayar biaya hajinya ?” sang Ustadz bertanya penuh keheranan.
Dengan tenang Bu Imahpun mulai menurai ceritanya.
“Jadi sekembalinya dari walimatussafar Bu Rohmat setahunan yang lalu, saya ikuti semua saran pak Ustadz. Saya langsung membeli celengan, saya beri tulisan CELENGAN HAJI. Setiap hari sepulang dari pasar, saya selalu lakukan apa yang disarankan oleh Pak Ustadz. Saya masukkan sisa-sisa uang recehan yang saya punya. Kadang-kadang 5000 rupiah, kadang-kadang 2000 rupiah. Tapi lebih seringnya sih 1000 atau 500 rupiah. Tak lupa saya panjatkan doa. Dan seperti saran Pak Ustadz, saya tidak pernah mempertanyakan dalam hati kapan duitnya akan cukup untuk biaya ongkos naik haji.
Setiap habis sholat, saya tidak pernah lupa memanjatkan doa mohon disegerakan berangkat ke tanah suci. Sholat malam dan sholat dhuha tidak pernah saya dan suami lewatkan. Semua berjalan dengan normal.
Hingga pada suatu malam, rumah kami diketuk oleh seorang tamu. Seorang warga keturunan China yang menanyakan pekarangan sebelah rumah kami. Orang ini bermaksud menyewa lahan kosong yang tidak terawat ini untuk disewanya sebagai tempat parkir truk usaha dagangnya. Katanya, dia sudah mencari-cari kemana-mana lahan yang bagus lokasinya untuk dijadikan tempat usahanya dan tanah sebelah rumah kami i tulah yang cocok.
Tanah tersebut memang tanah milik kami pak Ustadz, peninggalan warisan dari orang tua kami. Sudah sepuluh tahun lebih tanah itu kami biarkan kosong tak terawat. Saya dan suami sudah berkali-kali berniat menjual tanah tersebut kepada orang-orang, waktu kami membutuhkannya untuk biaya sekolah anak-anak dan biaya nikahan anak kami. Tapi setiap kali ada yang berminat dan datang melihat, semuanya gagal dan tak jadi membeli. Katanya lokasinya gak bagus buat usaha dan lain-lain alasan lah. Sampai akhirnya kami pasrah dan membiarkan lahan itu kosong tidak terawat.
Tapi malam itu, sang pengusaha China itu datang mau menyewa tanah kami Ustadz, bukan membelinya. Katanya lokasinya sangat bagus buat usahanya karena ada di perlintasan jalan jalur Semarang ke Magelang dan dekat dengan persimpanagan Bawen. Padahal sebelumnya semua calon pembeli mengatakan bahwa lokasinya tidak bagus. Dan pengusaha tersebut mau menyewanya selama sepuluh tahun, dan akan diperpanjang pada saat habis masa sewa selama sepuluh tahun.
Dan yang membuat kami yakin bahwa ini adalah mukjizat dari Gusti Allah Ustadz, orang ini membayar sewanya untuk 10 tahun secara tunai dimuka Pak Ustadz. Beberapa hari setelah kedatangannya, kami terima uang tunai sebanyak 150 juta rupiah dari pengusaha tersebut. Uang inilah yang kami pakai untuk membayar BPIH saya dan suami Pak Ustadz.”
Tak henti-hentinya Bu Imah mengusap air mata saat berkisah tentang karunia Allah yang didapatnya.
“Subhaanallah … Selamat ya Bu Imah dan Bapak. Insya Allah saya siap menjadi pembimbing haji buat Bu Imah dan Bapak melalui KBIH yang saya pimpin. Tapi ngomong-omong, gimana dengan celengan hajinya. Berapa isinya Bu Imah?, lanjut sang ustadz dengan penuh rasa penasaran.
“Jadi setelah kami membayar BPIHnya Ustadz, kami buka celengan haji kami. Dan alangkah terkejutnya kami Pak Ustadz, isi celengan itu tidak lebih dari 1juta rupiah jumlahnya Pak Ustadz,” Bu Imah melanjutkan dengan terus menitikkan air mata haru.
“Itulah Bu Imah maksud saya kasih saran Bu Imah bikin celengan haji dan menabung setiap hari untu haji. Karena pada dasarnya, Allah tidak memanggil hambaNYAuntuk beribadah haji hanya kepada orang yang mampu. Tetapi bagi siapa saja hambaNYA yang merasa terpanggil dengan bersungguh-sungguh, maka akan Allah mampukan.
Bu Imah dan kita semua perlu menunjukkan kesungguhan kita dalam menyambut seruan Allah. Dan ketika Allah yakin bahwa kita serius dengan seruanNYA ke tanah suci, Allah akan cukupkan semuanya. Bu Imah cuma menabung kurang dari 1 juta rupiah dengan penuh kesungguhan, kemudian Allah gerakkan hati pengusaha China itu untuk menyewa lahan kosong milik keluarga Bu Imah yang sudah belasan tahun gak diminati orang. Allah cukupkan biaya haji Bu Imah melalui tangan pengusaha China itu. Itu semua adalah berkah dari Allah untuk Bu Imah dan keluarga,” sang Ustadz mengambil hikmah dari kejadian Bu Imah dan keluarga.
………………………………..
Pembaca sekalian, semua yang berkaitan dengan Haji, Umrah dan tanah suci sejatinya penuh dengan misteri. Misteri yang terkadang susah sekali dinalar oleh logika manusia. Terlalu banyak campur tangan dan kuasa Allah (Tuhan) dalam hal ini. Kisah nyata yang dialami oleh Bu Imah dan suaminya – sebagaimana dituturkan oleh Ustadz Anwar Jufri, Lc kepada saya dan saya tuliskan secara bebas – hanyalah satu dari sekian banyak kisah serupa yang memperlihatkan betapa besarnya kasih dan kuasa Allah dalam kehidupan manusia.
Kemampuan financial yang besar dan melimpah serta keadaan fisik yang prima tidak menjamin seseorang untuk bersegera menyambut seruan Allah untuk bertamu ke Baitullah. Kaya dan sehat tidak menjamin, meskipun kewajiban sudah menjadi beban syariat yang melekat kepadanya. Ada yang beralasan karena masih sibuk dengan urusan bisnisnya dan kalau ditinggalkan untuk berhaji/umroh maka bisnisnya bisa berantarakan. nanti saja kalau sudah stabil bisnisnya. Ada juga yang mengatakan bahwa sepertinya belum mendapatkan panggilan dari Allah untuk ke tanah suci, sehingga belum tergerak hatinya.
Seorang motivator hebat kenamaan Indonesia, Mario teguh pernah mengingatkan kepada pemirsanya berkaitan dengan soal menunaikan haji, katanya : “Allah SWT tidak memanggil orang yang mampu (untuk berhaji), tetapi Allah SWT akan memampukan orang yang terpanggil…”
Sejenak merenungi kata-kata Mario Teguh tersebut, serasa sekali kebenarannya bila kita menilik kisah Bu Imah di atas. Bahwa pada akhirnya Allah SWT memampukan Bu Imah dan Suami untuk ke tanah suci setelah Bu Imah dan suami menunjukkan keterpanggilannya dengan mempersiapkan segala sumber dayanya untuk ke tanah suci.
Betapa banyak orang-orang yang terganjal niatnya ke tanah suci karena masih disibukkan dengan urusan bisnis dunianya dan menunggu saat senggang dalam urusan bisnisnya. Padahal, semakin maju bisnisnya maka akan semakin menyita waktu dan perhatian kita. Pada saat itu kesempatan untuk ke tanah suci menjadi lebih sempit lagi dan tidak memungkinkan.
Betapa banyak yang mengatakan bahwa mungkin dirinya belum dipanggil oleh Allah untuk ke tanah suci, sehingga belum kuatan niatannya untuk ke tanah suci. Padahal Allah SWT sudah panggil-panggil kita untuk ke tanah suci sejak 14 abad yang lalu di dalam kitab suci Al Qur’an dan haditsnya yang shohih. bagaimana bisa kita mengatakan bahwa Allah belum memanggil kita untuk ke tanah suci. Barangkali kitanya saja yang acuh tak acuh dan cuek dengan panggilan-panggilan dari Allah tersebut. Apakah kita akan menunggu “dipanggil oleh Allah” (meninggal) dulu untuk menyambut seruannya ke tanah suci ?
Kita sering serius sekali dalam berbisnis dengan manusia dan dunia ini, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain berbisnis dengan manusia. Dan kita seringkali lupa dan lalai dalam berbisnis dengan Allah yang maha Kaya dan Maha Kuasa akan sesuatu. Dan kisah Bu Imah dan sang Ustadz memberikan pelajaran besar kepada kita tentang betapa dahsyatnya berbisnis dengan Allah.
Wallahu a’lam.
* Ini adalah kisah nyata sebagaimana dituturkan oleh Ustadz. Anwar Jufri (tinggal di Bawen Kab. Semarang) kepada saya saya beberapa waktu lalu saya bertutur tentang Keajaiban Tanah Suci. Saya mengisahkan ulang secara bebas, tidak persis sama sebagaimana dikisahkan oleh beliau. Nama yang tercantum dalam kisah ini bukanlah nama yang sebenarnya. Tapi kejadian besarnya nyata, benar adanya.
Sumber :
http://www.beranimimpi.net/profil/2015/03/berbisnis-dengan-tuhan/